Program literasi yangseimbang dapat dan harus terlihat berbeda di setiap kelas dalam hal dimensi konten (struktur, format, dan tuntutan budaya), pasang surut dengan dimensi konteks (keaslian, wacana, dan kontrol guru, keahlian, dan otonomi).
Pengembangan literasi kritis
Literasi adalah alat prasyarat untuk terlibat dalam wacana sipil secara efektifdan tepat. Tanpa paparan terhadap berbagai modalitas, pengajaran dalam pengembangan literasi kritis, dan panduan dalam menavigasi kewarganegaraan digital, wacana sipil dan keterlibatan masyarakat tidak mungkin dilakukan oleh berbagai kelompok. Ketika sekolah, komunitas, dan individu berfokus pada literasi sebagai keterampilan yang diperlukan untuk membaca dan menghasilkan kata-kata tercetak, berbagai masalah etika akan muncul.Sebaliknya, ketika pendekatan sosio-kultural dilakukan dalam modus, konteks,
isi, dan makna komunitas, permasalahan-permasalahan tersebut akan ditangani
secara implisit dan sangat berkurang. Tugas berakar pada keaslian dan transfer
keterampilan memungkinkan literasi kritis lebih lanjut di masa depan.
Lima keyakinan yang berakarpada berbagai teori pembelajaran literasi
- Menghormati Pengalaman Siswa yang Beragam
Keberagaman pengalaman, kemampuan, komunitas, pembelajaran bahasa, dan
identifikasi ras, etnis, gender, sosial mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
pengalaman literasi dan harus dipertimbangkan ketika merancang dan
mengembangkan pendidikan literasi dan persiapan guru program.
Perdebatan tentang bagaimana literasi didefinisikan dalam konteks ruang kelasterbagi menjadi dua aliran pemikiran yang berbeda, yaitu :
- Literasi
otonom
- Literasi ideologis.
Perbedaan di antara keduanya pun jelas :
Model otonom adalah pandangan tradisional mengenai literasi sebagai serangkaian
keterampilan yang netral dan ditentukan terkait dengan membaca dan menulis.
Penganut model otonom menganggap kemampuan membaca dan menulis buku cetak
sebagai bentuk literasi tunggal dan diterima secara sosial. Konsep literasi
tradisional ini telah menjadi versi resmi atau mainstream dari literasi yang
mendasari pendidikan dan persekolahan tradisional. Dari perspektif model otonom
ini, orang yang melek huruf adalah individu yang dapat berkomunikasi secara
efisien dan fungsional dengan memahami kata-kata yang tercetak dalam sebuah
buku.
Sebaliknya, gerakan ideologis bersifat multidimensi dan kontekstual, dengan
akar yang kuat pada konstruktivisme sosial, yang digambarkan sebagai:
Adanya perubahan sosial yang memperhitungkan berbagai bentuk literasi dan
beragam cara seseorang menjadi melek huruf. Pandangan sosiokultural mengenai
literasi mencerminkan pergerakan yang berkembang dari pendekatan preskriptif
dan tunggal menuju pendekatan yang plural dan beragam serta dibentuk oleh
identitas, berbagai teks, serta praktik linguistik dan wacana komunitas
pelajar.
- Multi-Modal
dan Literasi Digital
Saat siswa mengonsumsi teks dalam berbagai cara, alat kognitif yang mereka
perlukan jauh lebih dari sekadar menguraikan kata-kata yang tercetak atau
sekadar memahami kata-kata di halaman. Pemaparan yang lebih luas terhadap teks-teks
ini mengarah pada pemanfaatan berbagai alat komunikasi dan kolaborasi dalam
masyarakat di mana wacana dan informasi disajikan dan dikurasi dalam berbagai
mode digital.
Menghormati dan menggabungkan wacana primer dan wacana baru mengarah pada penyediaan
pengajaran multi-modal.
- Literasi
Kritis, Peluang Wacana dan Kolaborasi
Literasi kritis dapat berdampak besar pada kemanjuran pendidikan literasi jika
didasarkan pada keyakinan bahwa semua pembelajaran dan pengajaran harus secara
langsung mencerminkan identitas siswa.
Tujuan utama dari literasi kritis adalah untuk menghadapi kesenjangan sosial
dengan menginterogasi teks dan praktik yang mereproduksi dan memelihara
hubungan kekuasaan yang tidak setara seperti bahasa, kelas sosial, ras/etnis,
dan gender.
- Blok
Bangunan yang Seimbang
Untuk mencapai tingkat berpikir, keterlibatan, dan wacana yang tinggi, siswaharus terlebih dahulu menguasai keterampilan dasar literasi dini. Hal ini harus
dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan antara keterampilan yang dibatasi
dan tidak dibatasi, konten dan konteks, serta proses dan produk. Singkatnya,
ketika keterampilan-keterampilan ini dipelajari, keterampilan-keterampilan ini
tidak boleh terpisah jauh dari maknanya, karena pengetahuan dikonstruksi dan dikonsumsi.
Pada tahap utama, pemahaman dan komposisi memainkan peran penting di seluruh
kelas, dengan fokus baru pada serangkaian proses. membaca teks-teks yang
menantang untuk menemukan esensi dan nuansa, literasi dalam disiplin ilmu,
menulis dari teks-teks. berdasarkan sumber, dan memahami, membangun, danmengkritisi argumen.
- Keaslian
dan Transfer
Jika keyakinan sebelumnya dihormati, kemungkinan besar keaslian dan transfer
akan hadir dalam program literasi, karena siswa akan terlibat dalam aktivitas
literasi Abad 21, berkolaborasi, dan memperluas pemahaman dan keterampilan
kritis mereka melalui wacana dan menulis. Meski begitu, setiap aktivitas dan
tujuan pembelajaran harus dirancang dengan mempertimbangkan keasliannya.
Menulis untuk tujuan nyata dan khalayak, menulis untuk merefleksikan pengalaman
sendiri, membaca untuk tujuan diskusi, membaca untuk tujuan mengevaluasi
kredibilitas. Siswa tidak hanya harus mampu memahami modalitas ini, mereka juga
harus menciptakannya.
Keterampilan literasi informasi yang diperlukan dalam masyarakat abad ke-21,
harus menjadi inti dari kegiatan literasi berbasis sekolah.
Pembelajaranautentik di kelas saat ini tidak boleh hanya terfokus pada siswa yang memperoleh informasi melalui jenis teks tradisional, melainkan pada siswa yang menemukan, menggunakan, membuat, dan berbagi berbagai bentuk media.