Friday, September 15, 2023

5 Keyakinan Yang Berakar Pada Berbagai Teori Pembelajaran Literasi

    

Program literasi yangseimbang dapat dan harus terlihat berbeda di setiap kelas dalam hal dimensi konten (struktur, format, dan tuntutan budaya), pasang surut dengan dimensi konteks (keaslian, wacana, dan kontrol guru, keahlian, dan otonomi).


Pengembangan literasi kritis

Literasi adalah alat prasyarat untuk terlibat dalam wacana sipil secara efektifdan tepat. Tanpa paparan terhadap berbagai modalitas, pengajaran dalam pengembangan literasi kritis, dan panduan dalam menavigasi kewarganegaraan digital, wacana sipil dan keterlibatan masyarakat tidak mungkin dilakukan oleh berbagai kelompok. Ketika sekolah, komunitas, dan individu berfokus pada literasi sebagai keterampilan yang diperlukan untuk membaca dan menghasilkan kata-kata tercetak, berbagai masalah etika akan muncul.

Sebaliknya, ketika pendekatan sosio-kultural dilakukan dalam modus, konteks, isi, dan makna komunitas, permasalahan-permasalahan tersebut akan ditangani secara implisit dan sangat berkurang. Tugas berakar pada keaslian dan transfer keterampilan memungkinkan literasi kritis lebih lanjut di masa depan.

Lima keyakinan yang berakarpada berbagai teori pembelajaran literasi

Semua keyakinan ini harus bekerja sama, terus menerus mempengaruhi dan bersinggungan, untuk mencapai keseimbangan :

  • Menghormati Pengalaman Siswa yang Beragam

     Keberagaman pengalaman, kemampuan, komunitas, pembelajaran bahasa, dan identifikasi ras, etnis, gender, sosial mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pengalaman literasi dan harus dipertimbangkan ketika merancang dan mengembangkan pendidikan literasi dan persiapan guru program.
Perdebatan tentang bagaimana literasi didefinisikan dalam konteks ruang kelasterbagi menjadi dua aliran pemikiran yang berbeda, yaitu :

- Literasi otonom
- Literasi ideologis.

Perbedaan di antara keduanya pun jelas :
Model otonom adalah pandangan tradisional mengenai literasi sebagai serangkaian keterampilan yang netral dan ditentukan terkait dengan membaca dan menulis. Penganut model otonom menganggap kemampuan membaca dan menulis buku cetak sebagai bentuk literasi tunggal dan diterima secara sosial. Konsep literasi tradisional ini telah menjadi versi resmi atau mainstream dari literasi yang mendasari pendidikan dan persekolahan tradisional. Dari perspektif model otonom ini, orang yang melek huruf adalah individu yang dapat berkomunikasi secara efisien dan fungsional dengan memahami kata-kata yang tercetak dalam sebuah buku.
Sebaliknya, gerakan ideologis bersifat multidimensi dan kontekstual, dengan akar yang kuat pada konstruktivisme sosial, yang digambarkan sebagai:
Adanya perubahan sosial yang memperhitungkan berbagai bentuk literasi dan beragam cara seseorang menjadi melek huruf. Pandangan sosiokultural mengenai literasi mencerminkan pergerakan yang berkembang dari pendekatan preskriptif dan tunggal menuju pendekatan yang plural dan beragam serta dibentuk oleh identitas, berbagai teks, serta praktik linguistik dan wacana komunitas pelajar.

  • Multi-Modal dan Literasi Digital

     Saat siswa mengonsumsi teks dalam berbagai cara, alat kognitif yang mereka perlukan jauh lebih dari sekadar menguraikan kata-kata yang tercetak atau sekadar memahami kata-kata di halaman. Pemaparan yang lebih luas terhadap teks-teks ini mengarah pada pemanfaatan berbagai alat komunikasi dan kolaborasi dalam masyarakat di mana wacana dan informasi disajikan dan dikurasi dalam berbagai mode digital.
Menghormati dan menggabungkan wacana primer dan wacana baru mengarah pada penyediaan pengajaran multi-modal.

  •     Literasi Kritis, Peluang Wacana dan Kolaborasi

     Literasi kritis dapat berdampak besar pada kemanjuran pendidikan literasi jika didasarkan pada keyakinan bahwa semua pembelajaran dan pengajaran harus secara langsung mencerminkan identitas siswa.
Tujuan utama dari literasi kritis adalah untuk menghadapi kesenjangan sosial dengan menginterogasi teks dan praktik yang mereproduksi dan memelihara hubungan kekuasaan yang tidak setara seperti bahasa, kelas sosial, ras/etnis, dan gender.

  •     Blok Bangunan yang Seimbang

     Untuk mencapai tingkat berpikir, keterlibatan, dan wacana yang tinggi, siswaharus terlebih dahulu menguasai keterampilan dasar literasi dini. Hal ini harus dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan antara keterampilan yang dibatasi dan tidak dibatasi, konten dan konteks, serta proses dan produk. Singkatnya, ketika keterampilan-keterampilan ini dipelajari, keterampilan-keterampilan ini tidak boleh terpisah jauh dari maknanya, karena pengetahuan dikonstruksi dan dikonsumsi.
Pada tahap utama, pemahaman dan komposisi memainkan peran penting di seluruh kelas, dengan fokus baru pada serangkaian proses. membaca teks-teks yang menantang untuk menemukan esensi dan nuansa, literasi dalam disiplin ilmu, menulis dari teks-teks. berdasarkan sumber, dan memahami, membangun, danmengkritisi argumen.

  • Keaslian dan Transfer

     Jika keyakinan sebelumnya dihormati, kemungkinan besar keaslian dan transfer akan hadir dalam program literasi, karena siswa akan terlibat dalam aktivitas literasi Abad 21, berkolaborasi, dan memperluas pemahaman dan keterampilan kritis mereka melalui wacana dan menulis. Meski begitu, setiap aktivitas dan tujuan pembelajaran harus dirancang dengan mempertimbangkan keasliannya. Menulis untuk tujuan nyata dan khalayak, menulis untuk merefleksikan pengalaman sendiri, membaca untuk tujuan diskusi, membaca untuk tujuan mengevaluasi kredibilitas. Siswa tidak hanya harus mampu memahami modalitas ini, mereka juga harus menciptakannya.
Keterampilan literasi informasi yang diperlukan dalam masyarakat abad ke-21, harus menjadi inti dari kegiatan literasi berbasis sekolah. 

     Pembelajaranautentik di kelas saat ini tidak boleh hanya terfokus pada siswa yang memperoleh informasi melalui jenis teks tradisional, melainkan pada siswa yang menemukan, menggunakan, membuat, dan berbagi berbagai bentuk media.



     Salam Literasi
     Taman Ilmu Media