Monday, August 21, 2023

Bagaikan Hidup Dalam Rantauan

Bagaikan Hidup Dalam Rantauan

By, Ira Hana


    Suasana masih sepi dan gelap, namun mataku sudah tidak mau terpejam lagi. Sayup-sayup terdengar suara adzan subuh berkumandang. Ternyata hari sudah pagi, akupun bergegas bangun untuk shalat subuh.

“Ira sudah bangun, Nak,” kata mama.

“Sudah, Ma. Aku mau wudhu, shalat subuh,” jawabku.

“Alhamdulillah, ayo kita shalat berjama’ah, Nak, ” ajak Mama.

“Ayo Ma…,” jawabku penuh semangat.

    Selesai shalat subuh, aku ingin jalan-jalan. Lalu, kubuka jendela “Wuuuss” udara dingin pun langsung menerobos masuk. Ku lihat di luar masih gelap gulita, hanya beberapa lampu yang mejadi penerang jalan.

“Jala-jalannya nanti saja, Nak, tunggu agak terang,” kata Mama.

    Akhirnya, kami jalan-jalan keliling kampung. Kami pindah baru 2 hari, tepatnya dipinggiran kota. Suasananya masih sepi, sunyi, dan udaranya masih segar. Karena jauh dari volusi kendaraan dan jauh dari kebisingan lalu lalang kendaraan. Kulangkahkan kakiku menyusuri rerumputan yang penuh embun, sampai kakiku basah.

“Hati-hati jalannya, Nak,” kata Mama mengingatkan.


    Di kampung ini jalannya masih pedel putih yang penuh dengan kerikil dan bebatuan. Di kanan kiri jalan masih banyak alang-alang dan semak belukar, karena memang belum banyak orang yang tinggal dan menetap di sini. Dan itupun masih biusa dihitung dengan jari, termasuk keluargaku. Kalau siang hari panas matahari sangat menyengat, namun anginnya sangat kencang, “Wusss” menerbangkan rambutku yang tergerai.

    Aku berlari, berteriak, melompat, dan bermain sendiri karena memang belum ada anak seumuran aku yang tinggal di sini.

Aku memetik dan mengumpulkan alang-alang untuk kujadikan mainan. Walaupun panas matahari membakar kulitku, tapi aku suka persis seperti hidup di rantauan jauh dari saudara.

“Ira, ayo masuk, Nak, di luar panas,” panggil Mama.

“Iya, Ma…,” jawabku.

“Ayah, di sini kok tidak ada anak kecil? Aku bosan bermain sendiri,” tanyaku pada Ayah.

“Sabar ya, Nak. Nanti kalau sudah banyak yang mendirikan rumah di sini, kampunya pasti jadi rame dan banyak anak kecilnya,” jawab Ayah.

“Anggap saja sekarang kita hidup dalam rantauan, karena jauh dari tetangga, teman, apalagi saudara. Tapi kita harus bersyukur atas semua nikmat yang Allah berikan,” jelas Ayah.

“Iya, Yah…,” jawabku sambil memeluk Ayah.

Tamat

Terima kasih!



Salam Literasi
Taman Ilmu Media