Bagaikan Hidup Dalam Rantauan
By, Ira Hana
Suasana masih sepi dan gelap, namun mataku sudah tidak
mau terpejam lagi. Sayup-sayup terdengar suara adzan subuh berkumandang. Ternyata
hari sudah pagi, akupun bergegas bangun untuk shalat subuh.
“Ira sudah bangun, Nak,” kata mama.
“Sudah, Ma. Aku mau wudhu, shalat subuh,” jawabku.
“Alhamdulillah, ayo kita shalat berjama’ah, Nak, ” ajak Mama.
“Ayo Ma…,” jawabku penuh semangat.
Selesai shalat subuh, aku ingin jalan-jalan. Lalu, kubuka
jendela “Wuuuss” udara dingin pun langsung menerobos masuk. Ku lihat di luar
masih gelap gulita, hanya beberapa lampu yang mejadi penerang jalan.
“Jala-jalannya nanti saja, Nak, tunggu agak terang,” kata
Mama.
Akhirnya, kami jalan-jalan keliling kampung. Kami pindah
baru 2 hari, tepatnya dipinggiran kota. Suasananya masih sepi, sunyi, dan
udaranya masih segar. Karena jauh dari volusi kendaraan dan jauh dari
kebisingan lalu lalang kendaraan. Kulangkahkan kakiku menyusuri rerumputan yang
penuh embun, sampai kakiku basah.
“Hati-hati jalannya, Nak,” kata Mama mengingatkan.
Di kampung ini jalannya masih pedel putih yang penuh dengan
kerikil dan bebatuan. Di kanan kiri jalan masih banyak alang-alang dan semak
belukar, karena memang belum banyak orang yang tinggal dan menetap di sini. Dan
itupun masih biusa dihitung dengan jari, termasuk keluargaku. Kalau siang hari
panas matahari sangat menyengat, namun anginnya sangat kencang, “Wusss”
menerbangkan rambutku yang tergerai.
Aku berlari, berteriak, melompat, dan bermain sendiri karena
memang belum ada anak seumuran aku yang tinggal di sini.
Aku memetik dan mengumpulkan alang-alang untuk kujadikan
mainan. Walaupun panas matahari membakar kulitku, tapi aku suka persis seperti
hidup di rantauan jauh dari saudara.
“Ira, ayo masuk, Nak, di luar panas,” panggil Mama.
“Iya, Ma…,” jawabku.
“Ayah, di sini kok tidak ada anak kecil? Aku bosan bermain
sendiri,” tanyaku pada Ayah.
“Sabar ya, Nak. Nanti kalau sudah banyak yang mendirikan
rumah di sini, kampunya pasti jadi rame dan banyak anak kecilnya,” jawab Ayah.
“Anggap saja sekarang kita hidup dalam rantauan, karena jauh
dari tetangga, teman, apalagi saudara. Tapi kita harus bersyukur atas semua
nikmat yang Allah berikan,” jelas Ayah.
“Iya, Yah…,” jawabku sambil memeluk Ayah.
Tamat
Terima kasih!