Sunday, August 6, 2023

Jalan Menuju Kebaikan

Jalan Menuju Kebaikan

By, Nono


“Hijrah tidak harus menunggu kita sempurna karena hijrah yang paling penting itu meninggalkan hal keburukan.”

    Quote di atas mengingatkan perjalanan hidup yang aku alami, saat masih hidup di jalanan. Kehidupan yang serba enjoy, tidak memikirkan apa tujuan hidup ini. Semua berjalan sesuai kemauan yang tidak ada putusnya. Sampai akhirnya, alhamdulillah menemukan jalan menuju kebaikan.

    Semua bermula dari kehidupanku saat masih remaja. Aku senang nongkrong dan kumpul-kumpul di jalanan bersama teman-teman sambil memainkan gitar kesayangan yang selalu aku bawa. Hari demi hari, bulan, bahkan berganti tahun, terus berjalan dan kegiatanku hanya gitu-gitu saja. Sampai-sampai aku tidak pernah memikirkan apa tujuan hidup yang sebenarnya. 

    Waktu terus berlalu sampai akhirnya dari bermain guitar itu, aku dapat undangan untuk mengisi acara di resepsi pernikahan. Aku senang dan berusaha tidak mengecawakan undangan tersebut saat tampil. Dan situ, aku merasa bangga dapat menghibur para undangan sekaligus bersyukur, karena ternyata hidup aku masih berguna buat orang lain. Seiring berjalannya waktu dari pertama dan seterusnya, berita dari mulut ke mulut akhirnya aku selalu dapat undangan di acara resepsi untuk mengisi hiburan akustik.

Seperti biasa, aku selalu nongkrong bersama teman-teman. Kebetulan teman nongkrongku hampir semua bisa main gitar, dan salah satunya suka memainkan melodi. Dari situlah akhirnya kami iseng-iseng sepakat membuat grup band.

    Band pun berdiri, posisi aku guitar ritme dan backing vocal, dan bahkan sudah tampil beberapa kali. Ya, walaupun hanya tampil sebatas di kota tempat tinggal kami. Tapi kami merasa puas. Begitulah cara hidup yang aku jalani pada saat itu. Terlena menikmati kehidupan yang indah, tanpa mengetahui arah tujuan yang pasti.

    Sudah berapa tahun aku melewati semua itu, lama kelamaan aku merasa bosan, jenuh dengan kehidupan semua ini. Tapi, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Tiap hari hanya bisa nongkrong dan bermain gitar, dan pergi ke rental untuk latihan bersama teman-teman. Sesekali duduk termenung sendiri memikirkan, untuk apa kehidupan ini dan sampai kapan aku terus begini…..., selama itu pula aku belum mendapatkan jawabannya. Dan, setiap malam jum’at banyak teman-teman yang lain pergi ke majelis zikir. Mereka selalu menyapa dan berusaha mengajakku untuk ikut serta bersamanya.

    “Hai An… ayo, ikut!” seru mereka.

    “Ya, besok saja masih belum waktunya,” jawabku singkat sambil tersenyum dan melanjutkan nongkrong lagi.

    Tak ada sebersit keinginanku untuk ikut ke majelis zikir bersama mereka. Betapa bodohnya aku pada saat itu, yang terbuai oleh kesenangan-kesenangan belaka. Hal itupun terus dan terus berulang-ulang. Di setiap malam jum’at, tak henti-hentinya mereka mengajak untuk ikut bersama ke majelis zikir.

    “Ayo An…,” kata mereka.

    Namun, aku hanya bisa tersenyum sambil berkata, “Ya, tenang saja, belum waktunya…nanti kalau sudah waktunya, ya!”

    Sampai akhirnya, di setiap malam jum’at tidak ada lagi suara ajakan dan sapaan dari teman-temanku untuk ikut pergi ke majelis zikir.

    “Sepertinya mereka sudah lelah dan bosan mengajakku,” gumamku dalam hati.

    Di sisi lain, dalam hati akupun merasa sepi dan hampa. Banyak pertanyaan yang ada dalam pikiranku, salah satunya adalah apakah prinsip yang kujalani ini benar atau sebaliknya salah?

    Bukankah quotes di atas sudah jelas, bahwa baik itu tidak harus menunggu sempurna. Dari sini, aku berpikir bahwa kehidupan yang kujalani ini salah. Allah tidak akan merubah hidup kita, jika kita sendiri tidak berusaha untuk merubahnya.  Sebagaimana firman Allah Swt, dalam Al-Qur’an. 

“…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka.” (Ar-Ra’d: 11)

    Dari kejadian itu akhirnya aku berpikir, bahwa kehidupanku harus berubah menjadi lebih baik. Karena, keadaan kita tidak akan berubah dari satu kondisi menjadi kondisi yang lain, kecuali dengan peran tangan kita sendiri.

    Syukur alhamdulillah, tepatnya malam jum’at tiba-tiba suara teman-teman terdengar lagi.

    “Ayo, An…!” sapa mereka.

    Aku terdiam dan melihat langkah-langkah mereka berjalan sampai jauh. Spontan aku bangkit dari duduk, dan beranjak pergi ke warung kopi untuk minta gelang karet ke pemilik warung. Karena saat itu memang rambut panjang, jadi aku butuh gelang karet untuk mengikatnya.

    “Mas, boleh minta gelang karetnya?” pintaku pada pemilik warung.

    “Boleh,” jawab pemilik warung.

    Setelah itu aku melangkah pergi sambil mengikat rambut dengan gelang karet tersebut, dan terus berangkat menyusul teman-temanku tadi. Tapi, mereka sudah tidak kelihatan lagi, entah lewat mana. Aku pun terus melangkah menuju ke tempat di mana lokasi majelis zikir itu.

    Sesampainya di lokasi, aku bingung karena yang hadir tidak satu pun yang aku kenal. Teman-temanku juga belum datang, yang seharusnya sudah sampai duluan. Lagi-lagi aku dibuat bingung, bagaimana tidak, karena hampir semua yang hadir memakai busana muslim sedangkan aku, pakai celana jeans dan kaos oblong. Tapi niatku pada saat itu sudah bulat, bahwa aku harus mengikuti acara ini sampai selesai.

    Akupun melangkah masuk tanpa ragu, walaupun banyak orang yang memperhatikan. Ya, mungkin karena penampilanku yang beda, dianggap tidak sopan. Yang membuat aku berkeringat lagi, tempat yang aku duduki tepat berhadapan langsung dengan ulama yang memimpin majelis zikir tersebut. Rangkaian acara zikir dari awal sampai akhir sudah selesai, berlanjut dengan ramah tamah. Nah, pada saat itulah beliau bertanya padaku.

    “Maaf, kalau boleh tahu nama Anda siapa?” tanya beliau.

    “Mohon maaf sebelumnya kalau bahasa yang aku gunakan kurang sopan dan penampilanku kayak begini,” jawabku.

    “Yang aku butuhkan bukan bahasa dan penampilan, tapi niat hati Anda,” jawab beliau.

    “Subhanaallah,” gumamku dalam hati. Seketika perasaanku menjadi tenang.

    “Anda sudah sampai di sini itu sudah niat dan tidak peduli bagaimanapun penampilannya. Dan, kalau ada yang perlu ditanyakan, silahkan,” lanjut beliau.

    Dari pertama kali ikut majelis tersebut, aku juga merasa puas karena semua pertanyaan yang aku ajukan sudah terjawab. Pertanyaan terkait apa yang dibaca dalam majelis tersebut. Aku juga merasakan betapa dingin hati ini saat berada dalam majelis itu, berzikir bersama dipimpin beliau langsung dan tidak ada batas antara guru dan murid.

    Pengalaman pertama itu membuat aku semakin bertambah semangat untuk memperbarui pola hidup yang aku jalani. Dan, bukan malam jum’at saja aku hadir di rumah beliau. Tapi, pada hari-hari biasa juga sering berkunjung ke rumah beliau untuk minta pendapat sekaligus arahan untuk menjadi insan yang lebih baik lagi. Beliau selalu berpesan, “Hati-hati dengan hati".

    Selama berada di kota ini, beliau adalah guru pertama kali yang aku datangi. Banyak pelajaran yang aku peroleh dari beliau tentang hati yang sabar. Tentunya sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Swt, sebagaimana firman-Nya:

“Jadikanlah sabar dan Shalat sebagai penolongmu. Dan, sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusuk.” QS. Al-Baqarah[2]:45 

Semenjak itu, pelan-pelan aku meninggalkan kehidupanku yang dulu. Belajar menata ulang kehidupan untuk menjadi lebih baik lagi.

    Pada dasarnya hidup itu hanya butuh kesabaran. Walaupun sulit tetap fokus pada tujuan, yaitu berharap selalu rida-Nya.

“Ya Allah, tunjukkanlah yang benar itu benar, dan berikanlah kemudahan untuk memahaminya. Dan tunjukkanlah yang salah itu salah, dan berikanlah kemudahan untuk menjahuinya.” 


Tamat***


Salam Literasi
Taman Ilmu Media