Jalan Menuju Kebaikan
By, Nono
“Hijrah tidak harus menunggu kita sempurna karena hijrah yang paling penting itu meninggalkan hal keburukan.”
Quote di atas mengingatkan perjalanan hidup yang aku alami,
saat masih hidup di jalanan. Kehidupan yang serba enjoy, tidak memikirkan apa
tujuan hidup ini. Semua berjalan sesuai kemauan yang tidak ada putusnya. Sampai
akhirnya, alhamdulillah menemukan jalan menuju kebaikan.
Semua bermula dari kehidupanku saat masih remaja. Aku senang
nongkrong dan kumpul-kumpul di jalanan bersama teman-teman sambil memainkan gitar
kesayangan yang selalu aku bawa. Hari demi hari, bulan, bahkan berganti tahun,
terus berjalan dan kegiatanku hanya gitu-gitu saja. Sampai-sampai aku tidak
pernah memikirkan apa tujuan hidup yang sebenarnya.
Waktu terus berlalu sampai akhirnya dari bermain guitar itu,
aku dapat undangan untuk mengisi acara di resepsi pernikahan. Aku senang dan
berusaha tidak mengecawakan undangan tersebut saat tampil. Dan situ, aku merasa
bangga dapat menghibur para undangan sekaligus bersyukur, karena ternyata hidup
aku masih berguna buat orang lain. Seiring berjalannya waktu dari pertama dan
seterusnya, berita dari mulut ke mulut akhirnya aku selalu dapat undangan di
acara resepsi untuk mengisi hiburan akustik.
Seperti biasa, aku selalu nongkrong bersama teman-teman.
Kebetulan teman nongkrongku hampir semua bisa main gitar, dan salah satunya
suka memainkan melodi. Dari situlah akhirnya kami iseng-iseng sepakat membuat
grup band.
Band pun berdiri, posisi aku guitar ritme dan backing vocal,
dan bahkan sudah tampil beberapa kali. Ya, walaupun hanya tampil sebatas di kota
tempat tinggal kami. Tapi kami merasa puas. Begitulah cara hidup yang aku
jalani pada saat itu. Terlena menikmati kehidupan yang indah, tanpa mengetahui
arah tujuan yang pasti.
Sudah berapa tahun aku melewati semua itu, lama kelamaan aku
merasa bosan, jenuh dengan kehidupan semua ini. Tapi, aku tidak bisa berbuat
apa-apa. Tiap hari hanya bisa nongkrong dan bermain gitar, dan pergi ke rental
untuk latihan bersama teman-teman. Sesekali duduk termenung sendiri memikirkan,
untuk apa kehidupan ini dan sampai kapan aku terus begini…..., selama itu pula
aku belum mendapatkan jawabannya. Dan, setiap malam jum’at banyak teman-teman
yang lain pergi ke majelis zikir. Mereka selalu menyapa dan berusaha
mengajakku untuk ikut serta bersamanya.
“Hai An… ayo, ikut!” seru mereka.
“Ya, besok saja masih belum waktunya,” jawabku singkat
sambil tersenyum dan melanjutkan nongkrong lagi.
Tak ada sebersit keinginanku untuk ikut ke majelis zikir
bersama mereka. Betapa bodohnya aku pada saat itu, yang terbuai oleh
kesenangan-kesenangan belaka. Hal itupun terus dan terus berulang-ulang. Di
setiap malam jum’at, tak henti-hentinya mereka mengajak untuk ikut bersama ke
majelis zikir.
“Ayo An…,” kata mereka.
Namun, aku hanya bisa tersenyum sambil berkata, “Ya, tenang
saja, belum waktunya…nanti kalau sudah waktunya, ya!”
Sampai akhirnya, di setiap malam jum’at tidak ada lagi suara
ajakan dan sapaan dari teman-temanku untuk ikut pergi ke majelis zikir.
“Sepertinya mereka sudah lelah dan bosan mengajakku,”
gumamku dalam hati.
Di sisi lain, dalam hati akupun merasa sepi dan hampa. Banyak
pertanyaan yang ada dalam pikiranku, salah satunya adalah apakah prinsip yang
kujalani ini benar atau sebaliknya salah?
Bukankah quotes di atas sudah jelas, bahwa baik itu tidak
harus menunggu sempurna. Dari sini, aku berpikir bahwa kehidupan yang kujalani ini salah. Allah tidak akan merubah hidup kita, jika kita sendiri tidak
berusaha untuk merubahnya. Sebagaimana
firman Allah Swt, dalam Al-Qur’an.
“…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka.” (Ar-Ra’d: 11)
Dari kejadian itu akhirnya aku berpikir, bahwa kehidupanku harus
berubah menjadi lebih baik. Karena, keadaan kita tidak akan berubah dari satu
kondisi menjadi kondisi yang lain, kecuali dengan peran tangan kita sendiri.
Syukur alhamdulillah, tepatnya malam jum’at tiba-tiba suara
teman-teman terdengar lagi.
“Ayo, An…!” sapa mereka.
Aku terdiam dan melihat langkah-langkah mereka berjalan
sampai jauh. Spontan aku bangkit dari duduk, dan beranjak pergi ke warung kopi
untuk minta gelang karet ke pemilik warung. Karena saat itu memang rambut
panjang, jadi aku butuh gelang karet untuk mengikatnya.
“Mas, boleh minta gelang karetnya?” pintaku pada pemilik
warung.
“Boleh,” jawab pemilik warung.
Setelah itu aku melangkah pergi sambil mengikat rambut
dengan gelang karet tersebut, dan terus berangkat menyusul teman-temanku tadi.
Tapi, mereka sudah tidak kelihatan lagi, entah lewat mana. Aku pun terus
melangkah menuju ke tempat di mana lokasi majelis zikir itu.
Sesampainya di lokasi, aku bingung karena yang hadir tidak
satu pun yang aku kenal. Teman-temanku juga belum datang, yang seharusnya sudah
sampai duluan. Lagi-lagi aku dibuat bingung, bagaimana tidak, karena hampir
semua yang hadir memakai busana muslim sedangkan aku, pakai celana jeans dan
kaos oblong. Tapi niatku pada saat itu sudah bulat, bahwa aku harus mengikuti
acara ini sampai selesai.
Akupun melangkah masuk tanpa ragu, walaupun banyak orang
yang memperhatikan. Ya, mungkin karena penampilanku yang beda, dianggap tidak
sopan. Yang membuat aku berkeringat lagi, tempat yang aku duduki tepat berhadapan
langsung dengan ulama yang memimpin majelis zikir tersebut. Rangkaian acara zikir
dari awal sampai akhir sudah selesai, berlanjut dengan ramah tamah. Nah, pada
saat itulah beliau bertanya padaku.
“Maaf, kalau boleh tahu nama Anda siapa?” tanya beliau.
“Mohon maaf sebelumnya kalau bahasa yang aku gunakan kurang
sopan dan penampilanku kayak begini,” jawabku.
“Yang aku butuhkan bukan bahasa dan penampilan, tapi niat
hati Anda,” jawab beliau.
“Subhanaallah,” gumamku dalam hati. Seketika perasaanku menjadi
tenang.
“Anda sudah sampai di sini itu sudah niat dan tidak peduli
bagaimanapun penampilannya. Dan, kalau ada yang perlu ditanyakan, silahkan,”
lanjut beliau.
Dari pertama kali ikut majelis tersebut, aku juga merasa
puas karena semua pertanyaan yang aku ajukan sudah terjawab. Pertanyaan terkait apa yang dibaca dalam majelis tersebut. Aku juga merasakan
betapa dingin hati ini saat berada dalam majelis itu, berzikir bersama dipimpin
beliau langsung dan tidak ada batas antara guru dan murid.
Pengalaman pertama itu membuat aku semakin bertambah
semangat untuk memperbarui pola hidup yang aku jalani. Dan, bukan malam jum’at
saja aku hadir di rumah beliau. Tapi, pada hari-hari biasa juga sering
berkunjung ke rumah beliau untuk minta pendapat sekaligus arahan untuk menjadi
insan yang lebih baik lagi. Beliau selalu berpesan, “Hati-hati dengan hati".
Selama berada di kota ini, beliau adalah guru pertama kali
yang aku datangi. Banyak pelajaran yang aku peroleh dari beliau tentang hati
yang sabar. Tentunya sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Swt,
sebagaimana firman-Nya:
“Jadikanlah sabar dan Shalat sebagai penolongmu. Dan,
sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang
khusuk.” QS. Al-Baqarah[2]:45
Semenjak itu, pelan-pelan aku meninggalkan kehidupanku yang
dulu. Belajar menata ulang kehidupan untuk menjadi lebih baik lagi.
Pada dasarnya hidup itu hanya butuh kesabaran. Walaupun
sulit tetap fokus pada tujuan, yaitu berharap selalu rida-Nya.
“Ya Allah, tunjukkanlah yang benar itu benar, dan berikanlah
kemudahan untuk memahaminya. Dan tunjukkanlah yang salah itu salah, dan
berikanlah kemudahan untuk menjahuinya.”
Tamat***